Sabtu, 24 Januari 2009

Ternak sebagai Peyumbang Terbesar CO2

Penyebab Terbesar Pemanasan Global - Makanan Kita atau Industri ?

Alarm tanda bahaya dampak pemanasan global berbunyi semakin nyaring. Pola pencairan es di Kutub merupakan salah satu indikatornya. Perubahan demi perubahan melaju dalam hitungan bulan. Tanggal 18 Maret 2008, Jay Zwally, ahli iklim NASA, memprediksi es di Antartika hampir semua akan mencair pada akhir musim panas 2012. Hanya dalam waktu dua bulan prediksi itu bergeser. Tanggal 1 Mei 2008 lalu, prediksi terbaru dilansir NASA: mencairnya semua es di Arktika bisa terjadi di akhir tahun 2008 ini. Sederet tanda-tanda bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es di Arktika pada musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya. Es di Greenland yang telah mencair mencapai 19 juta ton. Fenomena terbaru lainnya, pada tanggal 8 Maret 2008 beting es Wilkins di Antartika yang berusia 1500 tahun pecah dan runtuh seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya atau sepertiga luas Jakarta).

Dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options (Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi (18%), jumlah ini melebihi gabungan dari seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). PBB juga menambahkan bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan emisi CO2 saja, padahal industri peternakan juga merupakan salah satu sumber utama pencemaran tanah dan air bersih. Peternakan melepaskan 9 % karbondioksida dan 37 % gas metana (23 kali lebih berbahaya dari CO2). Selain itu, kotoran ternak menyumbang 65 % nitrooksida (296 kali lebih berbahaya dari CO2), serta 64 % amonia penyebab hujan asam.

Ada 400 miliar ton gas Metana di dasar laut Kutub yang dapat memusnahkan kehidupan di Bumi

Efek domino apa yang membayang bila es di Arktika mencair semua? Mencairnya es di Arktika tidak akan menaikkan level permukaan air laut, melainkan akan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di Arktika mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400 miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas metana dapat terlepas akibat mencairnya bekuan gas metana yang stabil pada suhu di bawah dua derajat celcius. Seperti diketahui, gas metana memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari gas CO2. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana kepunahan massal yang pernah terjadi pada 55 juta tahun yang lalu dikenal dengan masa PETM (Paleocene-Eocene Thermal Maximum). Saat itu, gas metana yang terlepas ke atmosfer mengakibatkan percepatan pemanasan global hingga mengakibatkan kepunahan massal. Bukti geologi lain menunjukkan kepunahan massal juga pernah terjadi 251 juta tahun lalu, pada akhir periode Permian. Akibat terlepasnya gas metana, lebih dari 94% spesies mengalami kepunahan massal. Kematian massal terjadi mendadak karena turunnya level oksigen secara ekstrem.

Membaca fakta-fakta di atas, satu hal yang patut digarisbawahi adalah tenggat waktu yang semakin sempit. Dr. Rajendra K. Pachauri, Ketua IPCC, menekankan bahwa dua tahun ke depan merupakan masa tenggat penting untuk menghambat laju pemanasan global yang bergerak dengan sangat cepat. James Hansen, ahli iklim NASA, mengatakan bahwa kita telah berada di titik sepuluh persen di atas batas ambang kemampuan Bumi mencerna CO2. Artinya, kita telah melampaui titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.

Kita butuh kecepatan dan ketepatan membaca masalah hingga dapat memilih solusi yang efektif. Solusi yang mampu berpacu dengan waktu untuk memperlambat laju pemanasan global. Berkaitan dengan ini, dalam konferensi persnya di Paris, 15 Januari 2008, Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk: pertama, jangan makan daging. Kedua, kendarai sepeda. Ketiga, jadilah konsumen yang hemat.

Mengapa "jangan makan daging" berada pada urutan pertama? Fakta berbicara, seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock's Long Shadow – Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif 18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2.

Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin.

Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Prediksi produksi pakan ternak naik dari 7,2 juta ton menjadi 7,7 juta ton, kata Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas-Paulus Setiabudi (Kompas, 8 November 2007). Sementara itu, menurut data Indonesian Nutrition Network (INN), setengah dari penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K).

Tanggal 30 April 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak segenap bangsa ini untuk bersama saling membahu menghadapi krisis pangan dunia. Akar masalah kelangkaan pangan jika dicermati salah satunya adalah krisis manajemen lahan itu sendiri. Secara matematis, inefisiensi pemakaian lahan pertanian untuk pakan ternak tercermin dari perhitungan kalori yang "terbuang" untuk membesarkan ternak cukup. Pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar orang. Sebenarnya tidaklah sulit untuk memahami mendesaknya perubahan pola makan ini, yakni perubahan ke pola makan yang mata rantainya pendek. Perut manusia bisa langsung mencerna kedelai, jagung dan gandum tanpa harus melalui perut ternak terlebih dahulu. Tidakkah beralih ke pola makan bebas daging justru dapat menjadi solusi ketimpangan akses pangan seluruh dunia?

Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 (karbondioksida) , 65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu diketahui efek rumah kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali CO2. Satu lagi masalah industri peternakan yang sangat krusial yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya "Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization" (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi.

Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter "Meat The Truth" menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el) mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.

Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin ("Diet, Energy and Global Warming") merunut kontribusi setiap potongan daging terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan dipublikasikan dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10 (Maret 2006). Jumlah gas rumah kaca yang diemisikan oleh daging merah, ikan, unggas, susu dan telur jika dibandingkan dengan diet murni nabati/vegan, ternyata jika satu orang dalam setahun mau mengganti diet hewani mereka ke diet nabati murni/vegan akan mencegah emisi CO2 sebesar 1,5 ton. Lima puluh persen lebih efektif daripada upaya mengganti mobil Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.

Objektivitas akan menuntun kita untuk mengakui pola konsumsi daging sebagai kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Pilihan kita tidak banyak, mengingat tenggat waktu yang demikian sempit. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, bahwa seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produk hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Menurut Bartlett, tidak ada langkah yang lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan yang dapat mengurangi kontribusi tiap individu terhadap emisi gas rumah kaca selain memangkas jumlah konsumsi daging dan produk susu dan olahannya.

Aksi untuk hemat bahan bakar kita masih banyak bergantung pada fasilitas umum. Upaya yang paling bisa kita lakukan adalah menggunakan kendaraan umum. Namun, sudah menjadi rahasia umum, tidak mudah untuk menggunakan kendaraan umum jika berhadapan dengan kepentingan keamanan, dan untuk ini kita masih bergantung pada kebijakan pemerintah. Aksi hemat energi dalam konteks yang paling ideal bergantung pada teknologi. Sumber energi paling ramah lingkungan yakni tenaga angin, air, dan matahari, masih jauh membutuhkan teknologi dan biaya yang tidak kecil. Butuh waktu yang panjang dan upaya ekstra untuk menggerakkan kesadaran massal untuk hemat energi, hemat listrik, hemat bahan bakar karena harus berhadapan dengan kebiasaan dan perilaku yang telah mengakar.

Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Namun, memegang sendok dan akhirnya menjatuhkan pilihan apa yang akan dimasukkan ke mulut kita, sepenuhnya berada di kendali kita. Langsung bisa dilakukan! Jarak antara piring dan mulut kita mungkin hanya sejarak panjang sendok, membalikkan isi sendoknya hanya butuh waktu sekedipan mata, tapi kendalinya ada pada mindset tiap kita. Sejenak, biarkan kepala dingin hadir. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan pola konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung Bumi. Sejenak merasakan beban berat Bumi ini mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola konsumsi tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah Bumi.

Written BY : Chindy Tan di Mailinglist Yahoo Groups

Jumat, 23 Januari 2009

Utang – Ekologis

Utang – Ekologis

Utara (Negara-negara Dunia III) menuntut selatan (Negara-negara Dunia I)

Kita semua menghuni bumi yang kaya raya. Kita saling bertanggung jawab atas kelestarian ciptaan tuhan ini. Kini, kita sedang bergulat dengan masalah apa yang sering disebut sebagai mengembalikan ‘pola hubungan yang benar dengan bumi’, dengan tetap melanjutkan pola kerja kita untuk menanggulangi utang Internasional. Dalam hal ini; kita menemukan dimensi baru bagi konsep tentang utang tersebut.

Hubungan kita tentang kelestarian hidup bumi memunculkan beberapa macam utang. Pertama, kita mengutang kepada bumi atas makanan (sustenance) yang diberikan kepada kita dan semua jenis makhluk hidup lainnya. Kedua, kita berutang kepada bumi terhadap semua kerusakan yang kita perbuat terhadapnya. Untuk yang pertama, kita tak bakal mampu melunasinya,; sedangkan untuk yang kedua kita menangguhkannya dengan resiko yang bakla kita tanggung kemudian. Ketiga, kita berutang kepada orang-orang yang terpinggirkan dan termiskinkan, terutama penduduk pribumi, yang paling sering menjadi korban pertama akibat kerusakan lingkungan.

Utang kerusakan lingkungan itu disebut sebagai ‘utang-Ekologis’, dengan mengacu kepada tanggung jawab yang ditanggung oleh mereka yang hidup di Negara-Negara kreditor utara. Pemahaman tentang utang financial tiodak lagi utang Negara-Negara termiskin yang tak terbayarkan, lebih dari itu, perhatian pada kasus etis utnuk menolok pembayaran utang-utang yang tidak sah bagi bagi semua negara berkembang, bukan saja yang termiskin. Utang-utang yang tidak sah itu meliputi utang-utang yang tak dapat dilunasi tanpa membebangkan orang-orang termiskinkan, utang yang dihambur-hamburkan untuk kepentingan proyek yang tak pernah menguntungkan rakyat, dan utang yang tumbuh dari hasil penggabungan bunga setelah Negara-Negara utara secara unilateral menaikkan suku bunga.

Konsep-konsep Illagitimate tentang utang financial dan utang Ecologis berkaitan erat. Pengujian bagi konsep utang ekologis menambah dimensi lain bagi alasan-alasan moral untuk menolak alasan pembayaran utang finansial. utang ekologis dapat dianalisis dari sejumlah perpektif yang valid. Beberapa analisis berbicara tentang ‘rasisme lingkungan’membuka kedok bahwa kelompok-kelompok kulit berwarna dan minoritas, khususnya orang-orang aborigin, menderita lebih dari yang lain akibat kehancuran ekologis. Konsep utang ekologis dapat diuji melalui, misalnya analisis gender atau kelas yang menunjukkan bagaimana kaum perempuan dan para pekerja, khususnya, menderita akibat degradasi lingkungan.

Negara –negara dunia ketiga adalah kreditor utama utang ekologis. Debitornya adalah negara-negara kaya diplanet ini.menurut United Nation Development Program (UNDP, 1998), 20% populasi dunia yang hidup di negara berpendapatan tertinggi membeli barang-barang komsumsi sebanyak 86%, sedangkan populasi dikelima negara termiskin membelinya dengan amat sedikit, Cuma sebanyak 1,3%. Populasi kelima negara terkaya mengonsumsi sebesar 58% dari seluruh energi yang dipakai manusia, sedangkan 20% populasi negara termiskin mengomsumsinya kurang dari 4%. Atas 53% emisi karbon dioksida, sedagkan populasi negara termiskin bertanggung jawab Cuma 3%.

Negara-negara dunia I (utara) yang menyalahgunakan biosfer, melanggar batas-batas ekologis, dan melakukan pengerukan SDA, namun menafikan kelestarinnya, harus mulai membayar utang ekologis ini, pertama-tama, dengan cara membatalkan utang financial negaranegara berkembang kepada kreditor-kreditor utara.

Bagaimana Utang – Ekologis Berakumulasi?

Mengikuti definisi Accion Ecologica tentang utangekologis, kita berhak mengatakan bahwa orang-orang Dunia ketiga pantas dibebaskan dari kewajiban membayar utang finansial yang terakumulasi karena (dari Aurora Donsop, “No more looting!”.

o Pengerukan SDA (minyak bumi, mineral, dan laut, juga sumber daya hutan dan genetis) yang merusak basis kehidupan orang-orang selatan;

o Syarat-syarat perdagangan yang tak sepadan secara ekologis,

Lingkungan

Lingkungan Lawan Pembangunan

Karena lingkungan bersifat khayal, investasi terhadap lingkungan dianggap sebagai kendala pembangunan. Hanya sekedar menambah biaya. Karena itu, apabila ada kerbatasan dalam biaya atau waktu ada resesi ekonomi, lingkunganlah yang lebih dulu dikorbankan. Antara berbicara dan berbuat untuk lingkungan ,sangatlah jauh jaraknya. Misalnya, waktu terjadi krisis energi sebagai akibat embago minyak OPEC, presiden Nixon mengendorkan mutu baku SO2 udara.

Selain itu, citra lingkungan lawan pembangunan juga disebabkan juga terlalu kuatnya pandangan barat terhadap kita.

Pelestarian Lingkungan

Dengan tingkat kehidupan yang sangat tinggi, dunia Barat sangatlah peka terhadap pelestarian lingkungan, misalnya hutan dengan jenis-jenis tumbuhan dan hewan. Lingkungan alamiah dianggap sangat penting sebagai imbangan lingkungan binaan yang sangat hiruk-pikuk dan dibanyak tempat tercemar. Mereka ingin lingkungan alamiah itu lestari, tidak berubah keseimbangan lingkungan janganlah diganggu.

Karena itu, kita tidak mungkin melakukan pembangunan taqmpa mengganggu keseimbangn lingkungan. Dalam usaha untuk merngubah keseimbangan lingkungan dan kualitas rendah ke kualitas yang lebih tinggi kita jaga, agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kualitas yang lebih tinggi itu tidak ruak. Inilah yang disebut pembangunan terlanjutkan (sustainable development).